Senin, 27 Agustus 2012

Wajib Pajak Meninggal, Masih Bayar Utang Pajak



Salah satu kewajiban pajak adalah melunasi utang pajak, apabila wajib pajak mempunyai utang pajak. Timbulnya utang pajak adalah karena bunyi pada undang-undang, tanpa dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak oleh fiskus asal terpenuhinya syarat subjektif dan objektif yang terdiri dari keadaan-keadaan tertentu dan peristiwa atau batas tertentu. Ketentuan tersebut merupakan timbulnya utang pajak menurut teori materiil. Contohnya atas suatu penghasilan atau atas suatu kekayaan wajib pajak yang kurang dibayar, maka berdasarkan syarat materiil telah timbul utang pajak. Tanpa harus menunggu Surat Ketetapan Pajak dikeluarkan fiskus, wajib pajak dapat melunasi utang pajak tersebut.
Sedangkan menurut teori formil, selama belum ada surat ketetapan pajak, maka belum ada utang pajak walaupun syarat-syarat subjekif dan syarat-syarat objektif serta waktu telah terpenuhi dan timbulnya utang pajak bukan karena undang-undang. Contohnya atas suatu penghasilan atau kekayaan wajib pajak yang kurang dibayar, berdasarkan syarat materiil telah timbul utang pajak, tetapi menurut teori formil belum timbul utang pajak. Baru timbul utang pajak jika Surat Ketetapan Pajak telah dikeluarkan fiskus.
Jika wajib pajak mempunyai utang pajak, maka berkewajiban untuk melunasi utangnya tersebut. Apabila wajib pajak yang memiliki utang pajak tetapi belum dilunasinya, maka negara akan menagih. Melalui penagihan Pajak yang merupakan serangkaian tindakan supaya wajib pajak melunasi utang pajaknya pajak dengan cara menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melakukan penyitaan, melakukan penyanderaan terhadap barang, dan melelang barang-barang yang telah disita yang hasil dari pelelangan tersebut digunakan untuk membayar utang.
Penagihan pajak tersebut mungkin tidak berkendala bagi wajib pajak yang mampu untuk melunasinya, tetapi bagaimana jika seandainya ada seorang Wajib Pajak meninggal dunia yang masih mempunyai utang pajak yang belum dibayar, dia memiliki sejumlah warisan tertentu tetapi tidak mempunyai ahli waris?
Apabila seorang Wajib Pajak yang meninggal dunia masih mempunyai utang pajak yang belum dibayar, dia memiliki sejumlah warisan tertentu tetapi tidak mempunyai ahli waris dan/atau tidak meninggalkan wasiat untuk warisannya. Maka atas warisannya tersebut akan digunakan untuk membayar utang pajak wajib pajak yang meninggal tersebut, karena warisan yang belum terbagi tersebut akan menggantikan wajib pajak sebagai subjek pajak. Berdasarkan Pasal 2 ayat 1 butir a angka 2 UU Pajak Penghasilan, yang menjadi subjek pajak adalah warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak. Penunjukan warisan sebagai subjek pajak pengganti dimaksudkan supaya pengenaan utang pajak tetap dapat dilaksanakan, jadi negara tidak dirugikan.
Negara memperoleh hak mendahului untuk pembayaran utang pajak. Apabila ada pihak lain yang juga mempunyai hak atas warisan atau piutang karena wajib pajak mempunyai utang kepada pihak tersebut, pembayaran utang didahulukan. Dengan adanya hak mendahului maka warisan tersebut digunakan untuk membayar utang pajak terlebih dahulu. Contohnya warisan berupa mobil yang belum dibayar lunas, sebelum penjual menyita mobil tersebut terlebih dahulu negara berhak atas mobil tersebut untuk pembayaran utang pajak.

Pasal 10 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-161/PJ./2001 tentang jangka waktu pendaftaran dan pelaporan kegiatan usaha, tata cara pendaftaran dan penghapusan nomor pokok wajib pajak, serta pengukuhan dan pencabutan pengukuhan pengusaha kena pajak menyatakan sebagai berikut : Dalam hal Wajib Pajak yang telah memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak meninggal dunia dan meninggalkan warisan yang belum terbagi, maka warisan yang belum terbagi tersebut dalam kedudukannya sebagai Subjek Pajak menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak dari Wajib Pajak yang meninggal dunia, dan ahli warisnya wajib melaporkan dengan mengisi formulir yang ditentukan.
Dijelaskan lagi dalam Pasal 15 bahwa Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak hanya ditujukan untuk kepentingan tata usaha perpajakan, tanpa menghilangkan kewajiban perpajakan yang harus dilakukannya. Walaupun wajib pajak tersebut telah meninggal akan dihapuskan NPWPnya, tetapi untuk hutang-hutang pajaknya tidak akan dihapuskan karena dia masih memiliki harta warisan yang tidak terbagi karena tidak adanya ahli waris.
Tetapi apabila warisan yang ditinggalkan mempunyai ahli waris, maka para ahli waris harus melaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak setempat untuk melaporkan meninggalnya si wajib pajak dengan kondisi warisan yang belum terbagikan. Untuk mendukung laporan tersebut, dipersyaratkan adanya surat keterangan kematian Wajib Pajak dan surat pernyataan bahwa warisan belum dibagi. Sesuai Pasal 15 di atas, mengenai tagihan pajak almarhum maka KPP tetap akan menagihnya. Jika tagihan tersebut memang lebih besar dari yang ditagihkan dan/atau ternyata terdapat tagihan lain selain yang tercantum dalam surat tagihan, maka ahli waris berhak meminta keringanan.
               Dalam hal Wajib Pajak meninggal dunia dengan meninggalkan warisan tetapi tidak mempunyai ahli  waris atau ada ahli waris tetapi statusnya tidak kuat, maka tagihan pajak ditujukan kepada Balai Harta Peninggalan/Pelaksana Surat Wasiat, atau yang mengurus harta peninggalan tersebut. Menurut Perpu No 2 Tahun 2007 , Balai Harta Peninggalan diatur sebagai pengelola harta bagi harta warisan yang tidak diketahui ahli warisnya dan juga sebagai wali pengawas. Terkait dengan hal tersebut, Balai Harta Peninggalan mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk ditetapkan sebagai pengelola harta kekayaan yang tidak diketahui pemilik atau ahli warisnya sesuai dengan pasal 28 Perpu No 2 Tahun 2007. Bila Wajib Pajak mempunyai utang pajak yang belum dibayar, maka warisan tersebut dapat digunakan oleh Balai Harta Peninggalan untuk membayar utang pajak almarhum.  

Tetapi apabila pihak Balai Harta Peninggalan atau pihak yang mengurus harta peninggalan tersebut enggan melunasi pajak dari almarhum, maka petugas pajak dapat menerbitkan surat paksa, yaitu surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak. Surat paksa mempunyai kekuatan untuk melakukan eksekusi lapangan dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Secara teori, surat paksa diterbitkan setelah surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang diterbitkan oleh pejabat pajak. Pasal 8 ayat 1 UU KUP menerangkan tentang sebab-sebab penerbitan surat paksa yaitu penanggung pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya telah diterbitkan surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis, dan terhadap penanggung pajak telah dilaksanakan penagihan seketika, sekaligus, atau penanggung pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.
Surat paksa diberitahukan oleh jurusita pajak kepada salah satu ahli waris atau pelaksana wasiat atau yang mengurus harta peninggalannya apabila wajib pajak telah meninggal dunia dan masih meninggalkan harta warisan dan belum dibagi. Pelaksanaan Surat Paksa dapat dilanjutkan dengan penyitaan apabila telah lewat 2x24 jam setelah Surat Paksa diberitahukan. Penyitaan merupakan tindakan Jurusita Pajak untuk menguasai barang wajib pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundang-undangan. Dalam kasus wajib pajak meninggal, yang disita adalah warisannya yang mampu untuk memenuhi utang pajaknya.
Penyitaan tidak dapat dilaksanakan terhadap barang yang telah disita Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang. Terhadap barang yang telah disita tersebut, Jurusita Pajak menyampaikan Surat Paksa kepada Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang. Pengadilan Negeri dalam sidang berikutnya menetapkan barang tersebut sebagai jaminan pelunasan utang pajak. Sedangkan instansi lain yang berwenang, menentukan pembagian hasil penjualan barang tersebut berdasarkan ketentuan hak mendahului Negara untuk tagihan pajak, dan dapat dilakukan penyitaan dalam rangka pelaksanaan penagihan pajak terutang.
Selanjutnya dilakukan pelelangan kalau setelah penyitaan utang pajak masih tidak dibayar deposito berjangka, obligasi, saham, surat berharga, piutang, penyertaan modal, dan lain sebagainya. Barang yang dilelang di balai lelang dipakai untuk membayar utang pajak dan biaya penagihan. Untuk deposito berjangka, tangungan, langsung dipindahbukukan ke bank yang ditunjuk. Obligasi, saham, surat berharga di BEJ dijual di bursa efek atas permintaan pejabat atau segera dijual oleh pejabat. Untuk yang berbentuk piutang dibuat berita acara persetujuan tentang pengalihan hak menagih ke pejabat. Penyertaan modal pada perusahaan lain dibuat akte persetujuan pengalihan hak menjual ke pejabat.

Proses lelang dilaksanakan minimal 14 hari setelah pengumuman lelang di media massa dan pengumuman lelang minimal 14 hari setelah penyitaan. Jadi total ada 28 hari dari mulai penyitaan ke pelelangan. Pengumuman lelang di media massa minimal dilakukan 1 kali untuk barang begerak dan 2 kali untuk barang tidak bergerak. Untuk nilai barang 20 juta ke atas wajib dilakukan pengumuman ke media massa. Lelang dapat dilakukan tanpa wajib pajak. Kalau sebelum ketok palu pelelangan ada pelunasan hutang pajak, keputusan pengadilan, keputusan pengadilan pajak, atau barang yang dilelang musnah maka lelang gagal atau tidak jadi dilaksanakan.

Pemerintah Daerah memiliki hak mendahului atas barang wajib pajak pada pokok pajak, bunga, sanksi administrasi, denda dan biaya penagihan pajak yang mendahului biaya perkara, biaya penyelamatan barang baik disebabkan pelelangan / penghukuman pelelangan atau lain-lain sesuai gubernur. Tetapi hak mendahului dapat hilang jika sudah lewat 2 tahun dari terbit SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD (surat tagihan pajak daerah), surat keputusan pembetulan, surat keputusan keberatan dan putusan banding kecuali surat paksa diberitahu resmi atau ada penundaan pembayaran. Jadi ada dua tahun lebih untuk jangka penundaan bayar.




DAFTAR PUSTAKA
·         Undang-Undang No 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
·         Perpu No 2 Tahun 2007.
·         Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-161/PJ./2001.

1 komentar: