Senin, 27 Agustus 2012

Asas Pengenaan Pajak


Negara melakukan pemungutan pajak berdasarkan yuridiksi negara yang bersangkutan. Yuridiksi adalah ruang lingkup penggunaan wewenang untuk memungut pajak pada warga negaranya maupun warga negara asing yang bertempat tinggal atau berkedudukan di negara tersebut sehingga tidak menimbulkan pembebanan berat bagi wajib pajak.  Secara tegas maupun tersirat diatur tentang pengelompokan yuridiksi pemungutan pajak yang bertujuan untuk menghindari pengenaan pajak berganda, baik nasional maupun internasional. Sebagai contoh di Indonesia, secara tegas dinyatakan dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 bahwa segala pajak untuk keuangan negara ditetapkan berdasarkan undang-undang. Untuk dapat menyusun suatu undang-undang perpajakan, diperlukan asas-asas atau dasar-dasar yang akan dijadikan landasan oleh negara untuk mengenakan pajak. Terdapat beberapa asas yang dapat dipakai oleh negara sebagai asas dalam menentukan wewenangnya untuk mengenakan pajak, khususnya untuk pengenaan pajak penghasilan.
Jenis pajak yang banyak diterapkan di banyak negara dan diatur berdasarkan yuridiksi negara adalah Pajak Penghasilan. Dalam hal pengenaan pajak penghasilan ini, ada tiga asas pengenaan pajak yaitu asas domisili, asas sumber, dan asas kebangsaan. Ada 3 contoh kasus tentang asas pemungutan pajak yang penulis analisis.
Contoh  1 :
Tenaga kerja asing yang berasal dari Malaysia bekerja di suatu perusahaan swasta milik warga negara Inggris yang bertempat di Indonesia, maka dari penghasilan yang didapat oleh warga negara Malaysia dan Inggris di Indonesia akan dikenakan pajak.
                Pemungutan pajak berdasarkan contoh  di atas berdasarkan asas sumber. Indonesia dalam menganut asas sumber akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diperoleh orang pribadi atau badan usaha hanya apabila penghasilan yang akan dikenakan pajak itu diperoleh pihak yang bersangkutan dari sumber-sumber yang berada di Indonesia. Jika di Indonesia terdapat suatu sumber penghasilan, negara berhak memungut pajak tanpa melihat wajib pajak itu bertempat tinggal. Dalam asas ini, tidak menjadi persoalan mengenai siapa dan apa status dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan tersebut sebab yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah objek pajak yang timbul atau berasal dari Indonesia.
Dalam contoh kasus di atas berdasarkan asas sumber, maka negara yang berwenang memungut pajak adalah negara tempat penghasilan itu diperoleh. Jadi, bukan negara orang pribadi atau badan usaha berasal atau berdomisili tetapi negara setempat tempat diperolehnya pendapatan, dalam kasus di atas adalah Indonesia. Negara Indonesia berhak memungut pajak dari warga negara asing atau badan usaha tetap milik pihak asing yang berada di Indonesia berdasarkan peraturan yang mengatur.
Subyek pajak yang dapat dikenakan pajak adalah orang  atau badan usaha yang memperoleh penghasilan dari suatu negara. Di Indonesia, subjek pajak berdasarkan asas sumber adalah wajib pajak luar negeri dan badan usaha tetap yang diatur dalam Pasal 2 ayat 4 dan 5 Undang-Undang Pajak Penghasilan ( UU PPh). Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak badan dalam negeri sebagaimana diatur dalam UU PPh dan Undang-Undang yang mengatur mengenai Ketentuan Umum dan tata cara Perpajakan.

Obyek yang dikenakan pajak adalah seluruh penghasilan yang diperoleh subyek pajak dari sumber penghasilan yang terletak di negara tersebut. Misalnya terhadap objek pajak bumi dan bangunan yang berada di Indonesia, negara indonesia memiliki kewenangan untuk mengenakan dan memungut pajak bumi dan bangunan bagi wajib pajak yang menguasai, memiliki atau memperoleh manfaat atas objek pajak yang dikenakan pajak bumi dan bangunan.Contoh yang lain adalah bea perolehan hak atas tanah dan bangunan yang terjadi di Indonesia, sehingga Indonesia berhak memungut bea perolehan atas tanah dan bangunan.
Contoh 2 :
Nona Z adalah seorang artis yang berdomisili di Jakarta, selain artis dia juga seorang designer baju dan penulis buku. Baju yang dibuat dan buku yang ditulisnya beredar ke seluruh dunia sehingga dia mendapatkan penghasilan dari hasil penjualan baju dan buku tersebut. Dia juga sering menjadi narasumber di luar negeri.
Berdasarkan kasus di atas, pendapatan Nona Z yang berasal dari luar negeri dapat dipungut oleh Indonesia menurut asas domisili. Asas domisili adalah asas yang menganut cara pemungutan pajak yang tergantung pada tempat tinggal atau domisili wajib pajak di suatu negara. Negara di tempat wajib pajak itu bertempat tinggal, negara itulah yang berhak mengenakan pajak atas segala penghasilan yang diperoleh dari manapun.
Dalam contoh kasus di atas berdasarkan asas domisili, negara yang berwenang memungut pajak adalah adalah negara tempat subyek pajak berdomisili. Bagi negara yang menganut asas ini, dalam sistem pengenaan pajak terhadap penduduknya akan menggabungkan asas domisili dengan konsep pengenaan pajak atas penghasilan baik yang diperoleh di negara itu maupun penghasilan yang diperoleh di luar negeri. Walaupun penghasilan Nona Z diperoleh di luar negeri, dia tetap akan dipungut pajak oleh Indonesia karena dia berdomisili di Indonesia.
Subyek pajak yang dapat dikenakan pajak adalah orang atau badan usaha yang berdomisili di negara tersebut. Siapapun orang atau badan usaha yang berdomisili di negara tersebut akan dikenakan pajak di negara tersebut, terlepas dari kewarganegaraan orang tersebut. Indonesia menganut asas ini di mana di dalam Pasal 2  ayat 3 UU PPh dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan subjek pajak dalam negeri adalah :
1.     Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
2.     Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
3.     Subjek pajak warisan, yaitu warisan yang belum terbagi.
Dari ketentuan di atas ditegaskan bahwa subjek pajak yang bisa dikenakan pajak tidak harus berkewarganegaraan Indonesia tetapi karena keberadaannya di Indonesia. Begitu juga untuk badan, kriteria subjek pajak bukan hanya masalah legalitas didirikannya tetapi juga keberadaan fisik atau berkedudukannya.
Obyek yang dikenakan pajak adalah penghasilan yang diperoleh subyek pajak dimanapun penghasilan itu diperoleh, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Negara Indonesia akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan usaha yang berdomisili atau berkedudukan di Indonesia. Dalam kaitan ini, tidak dipersoalkan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak itu berasal. Itulah sebabnya bagi negara yang menganut asas ini, dalam sistem pengenaan pajak terhadap penduduknya akan menggabungkan asas domisili dengan konsep pengenaan pajak atas penghasilan baik yang diperoleh di negara itu maupun penghasilan yang diperoleh di luar negeri.
Contoh 3 :
Tuan Q warga negara Indonesia yang bertempat tinggal di Singapura dan mempunyai badan usaha tetap di Malaysia.
Berdasarkan contoh kasus di atas, negara Indonesia dapat memungut pajak kepada Tuan Q berdasarkan asas kebangsaan. Negara dapat mamungut pajak penghasilan Tuan Q walaupun sumber penghasilan dan domisilinya ada di negara lain. Asas kebangsaan adalah asas yang menganut cara pemungutan pajak yang dihubungkan dengan kebangsaan dari suatu negara. Apabila suatu negara menerapkan asas kewarganegaraan, maka negara tersebut akan mengenakan pajak penghasilan kepada setiap warga negaranya di manapun ia berada dan dari manapun penghasilannya diperoleh.
Negara yang berwenang memungut pajak adalah adalah negara tempat asal kebangsaan seseorang atau tempat pendirian atau kedudukan suatu badan usaha. Subyek pajak yang dapat dikenakan pajak adalah orang-orang yang berkebangsaan atau suatu badan usaha yang tempat pendirian atau kedudukan di negara tersebut dimanapun dia berada. Obyek yang dikenakan pajak adalah seluruh penghasilan yang diperoleh subyek pajak dimanapun diperoleh.
Berdasarkan Asas kebangsaan, yuridiksi pemungutan pajak yang dikenakan bukan objek pajak, melainkan status atau kedudukan warga negara dari stiap orang pribadi yang berasal dari negara yang mengenakan pajak. Walaupun orang pribadi yang bersangkutan tidak bertempat tinggal di negara yang hendak melakukan pemungutan pajak, terhadap orang pribadiitu yang merupakan warga negaranya, dilakukan pemungutan pajak terhadap yang bersangkutan. Misalnya, untuk Indonesia yang menganut asas kebangsaan, pemungutan pajak yang dilakukan bukan hanya warga negara yang bertempat tinggal atau berkedudukan di Indonesia, tetapi termasuk yang berkedudukan atau bertempat tinggal di luar Indonesia. Asas kewarganegaraan ini diterapkan dalam UU PPh, pemungutan pajak penghasilan dilakukan kepada warga negara Indonesia baik yang bertempat tinggal di Indonesia maupun di luar Indonesia. Ini berarti, hukum pajak mengikuti warga negaranya dimanapun ia berada untuk dapat dikenakan pajak.
Indonesia pada umumnya tidak menerapkan asas ini. Namun demikian, dalam Pasal 3 UU PPh, asas kebangsaan dipakai khusus ketika memberikan pengecualian sebagai subjek pajak.
Ketiga asas pengenaan pajak tersebut diterapkan dalam UU PPh di Indonesia. Ketiga asas tersebut saling melengkapi dalam mengatur pengenaan pajak terhadap subjek pajak. Menurut asas sumber, subjek pajak yang dikenakan pajak adalah wajib pajak luar negeri dan badan usaha tetap yang diatur dalam Pasal 2 ayat 4 dan 5. Berdasarkan asas domisili, subjek pajaknya adalah subjek pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 2  ayat 3 UU PPh.Sedangkan menurut asas kebangsaan, dalam Pasal 3 UU PPh asas kebangsaan dipakai khusus ketika memberikan pengecualian sebagai subjek pajak. Dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut asas domisili dan asas sumber dalam sistem perpajakannya. Indonesia juga menganut asas kewarganegaraan tetapi hanya sebagian, yaitu khusus dalam ketentuan yang mengatur mengenai pengecualian subjek pajak untuk orang pribadi.
Tetapi apabila dalam penerapan asas-asas pengenaan pajak di berbagai negara berbeda, maka akan terjadi pemungutan pajak ganda. Contoh kasusnya, cabang perusahaan Singapura yang ada di Indonesia akan dikenakan PPh di Indonesia berdasarkan asas sumber. Atas penghasilan ini pihak otoritas juga akan mengenakan pajak berdasarkan asas kewarganegaraan atau asas domisili. Kejadian ini menimbulkan dua kali pengenaan pajak atas objek dan subjek yang sama. Apabila di Indonesia kena tarif 30% dan di Singapura kena tarif 25%, maka total atas penghasilan yang sama dikenakan tarif  55%.
Adanya penerapan asas pemungutan pajak tersebut tentu akan menimbulkan konflik kepentingan antar negara yang menggunakan asas berlainan yang dapat menimbulkan pajak berganda. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan-kebijakan untuk menghindari pemungutan pajak berganda antar negara. Cara-cara penghindaran pajak berganda diantaranya berupa :
a)         Unilateral (sepihak) yaitu kebijakan sepihak dari suatu negara untuk menghindarkan pajak berganda yang dituangkan dalam peraturan perpajakannya tanpa memperhatikan adanya perjanjian. Biasanya karena adanya asas timbal balik (reciprocity) antar negara.
b)         Bilateral atau Multilateral yaitu cara menghindarkan pajak berganda dengan adanya perjanjian, baik antara dua negara (bilateral) maupun lebih dari dua negara (multilateral).
c)         Kebiasaan International yaitu cara menghindarkan pajak berganda dengan cara salah satu pihak dengan cara kebiasaan internasional, artinya bila terjadi perselisihan antar negara tersebut, salah satu pihak harus mengalah. Biasanya yang mengalah adalah Negara yang menganut asas domisili.





Daftar Pustaka :
http: //www.scribd.com/doc/25546177/Asas Pengenaan Pajak diakses tanggal 25 Desember 2011 pukul 16.12 .
http://aturanpajak.blogspot.com/  diakses tanggal 25 Desember 2011 pukul 16.17.
Brotodihardjo, R. Santoso. 1998. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung : Refika.

Wajib Pajak Meninggal, Masih Bayar Utang Pajak



Salah satu kewajiban pajak adalah melunasi utang pajak, apabila wajib pajak mempunyai utang pajak. Timbulnya utang pajak adalah karena bunyi pada undang-undang, tanpa dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak oleh fiskus asal terpenuhinya syarat subjektif dan objektif yang terdiri dari keadaan-keadaan tertentu dan peristiwa atau batas tertentu. Ketentuan tersebut merupakan timbulnya utang pajak menurut teori materiil. Contohnya atas suatu penghasilan atau atas suatu kekayaan wajib pajak yang kurang dibayar, maka berdasarkan syarat materiil telah timbul utang pajak. Tanpa harus menunggu Surat Ketetapan Pajak dikeluarkan fiskus, wajib pajak dapat melunasi utang pajak tersebut.
Sedangkan menurut teori formil, selama belum ada surat ketetapan pajak, maka belum ada utang pajak walaupun syarat-syarat subjekif dan syarat-syarat objektif serta waktu telah terpenuhi dan timbulnya utang pajak bukan karena undang-undang. Contohnya atas suatu penghasilan atau kekayaan wajib pajak yang kurang dibayar, berdasarkan syarat materiil telah timbul utang pajak, tetapi menurut teori formil belum timbul utang pajak. Baru timbul utang pajak jika Surat Ketetapan Pajak telah dikeluarkan fiskus.
Jika wajib pajak mempunyai utang pajak, maka berkewajiban untuk melunasi utangnya tersebut. Apabila wajib pajak yang memiliki utang pajak tetapi belum dilunasinya, maka negara akan menagih. Melalui penagihan Pajak yang merupakan serangkaian tindakan supaya wajib pajak melunasi utang pajaknya pajak dengan cara menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melakukan penyitaan, melakukan penyanderaan terhadap barang, dan melelang barang-barang yang telah disita yang hasil dari pelelangan tersebut digunakan untuk membayar utang.
Penagihan pajak tersebut mungkin tidak berkendala bagi wajib pajak yang mampu untuk melunasinya, tetapi bagaimana jika seandainya ada seorang Wajib Pajak meninggal dunia yang masih mempunyai utang pajak yang belum dibayar, dia memiliki sejumlah warisan tertentu tetapi tidak mempunyai ahli waris?
Apabila seorang Wajib Pajak yang meninggal dunia masih mempunyai utang pajak yang belum dibayar, dia memiliki sejumlah warisan tertentu tetapi tidak mempunyai ahli waris dan/atau tidak meninggalkan wasiat untuk warisannya. Maka atas warisannya tersebut akan digunakan untuk membayar utang pajak wajib pajak yang meninggal tersebut, karena warisan yang belum terbagi tersebut akan menggantikan wajib pajak sebagai subjek pajak. Berdasarkan Pasal 2 ayat 1 butir a angka 2 UU Pajak Penghasilan, yang menjadi subjek pajak adalah warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak. Penunjukan warisan sebagai subjek pajak pengganti dimaksudkan supaya pengenaan utang pajak tetap dapat dilaksanakan, jadi negara tidak dirugikan.
Negara memperoleh hak mendahului untuk pembayaran utang pajak. Apabila ada pihak lain yang juga mempunyai hak atas warisan atau piutang karena wajib pajak mempunyai utang kepada pihak tersebut, pembayaran utang didahulukan. Dengan adanya hak mendahului maka warisan tersebut digunakan untuk membayar utang pajak terlebih dahulu. Contohnya warisan berupa mobil yang belum dibayar lunas, sebelum penjual menyita mobil tersebut terlebih dahulu negara berhak atas mobil tersebut untuk pembayaran utang pajak.

Pasal 10 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-161/PJ./2001 tentang jangka waktu pendaftaran dan pelaporan kegiatan usaha, tata cara pendaftaran dan penghapusan nomor pokok wajib pajak, serta pengukuhan dan pencabutan pengukuhan pengusaha kena pajak menyatakan sebagai berikut : Dalam hal Wajib Pajak yang telah memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak meninggal dunia dan meninggalkan warisan yang belum terbagi, maka warisan yang belum terbagi tersebut dalam kedudukannya sebagai Subjek Pajak menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak dari Wajib Pajak yang meninggal dunia, dan ahli warisnya wajib melaporkan dengan mengisi formulir yang ditentukan.
Dijelaskan lagi dalam Pasal 15 bahwa Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak hanya ditujukan untuk kepentingan tata usaha perpajakan, tanpa menghilangkan kewajiban perpajakan yang harus dilakukannya. Walaupun wajib pajak tersebut telah meninggal akan dihapuskan NPWPnya, tetapi untuk hutang-hutang pajaknya tidak akan dihapuskan karena dia masih memiliki harta warisan yang tidak terbagi karena tidak adanya ahli waris.
Tetapi apabila warisan yang ditinggalkan mempunyai ahli waris, maka para ahli waris harus melaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak setempat untuk melaporkan meninggalnya si wajib pajak dengan kondisi warisan yang belum terbagikan. Untuk mendukung laporan tersebut, dipersyaratkan adanya surat keterangan kematian Wajib Pajak dan surat pernyataan bahwa warisan belum dibagi. Sesuai Pasal 15 di atas, mengenai tagihan pajak almarhum maka KPP tetap akan menagihnya. Jika tagihan tersebut memang lebih besar dari yang ditagihkan dan/atau ternyata terdapat tagihan lain selain yang tercantum dalam surat tagihan, maka ahli waris berhak meminta keringanan.
               Dalam hal Wajib Pajak meninggal dunia dengan meninggalkan warisan tetapi tidak mempunyai ahli  waris atau ada ahli waris tetapi statusnya tidak kuat, maka tagihan pajak ditujukan kepada Balai Harta Peninggalan/Pelaksana Surat Wasiat, atau yang mengurus harta peninggalan tersebut. Menurut Perpu No 2 Tahun 2007 , Balai Harta Peninggalan diatur sebagai pengelola harta bagi harta warisan yang tidak diketahui ahli warisnya dan juga sebagai wali pengawas. Terkait dengan hal tersebut, Balai Harta Peninggalan mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk ditetapkan sebagai pengelola harta kekayaan yang tidak diketahui pemilik atau ahli warisnya sesuai dengan pasal 28 Perpu No 2 Tahun 2007. Bila Wajib Pajak mempunyai utang pajak yang belum dibayar, maka warisan tersebut dapat digunakan oleh Balai Harta Peninggalan untuk membayar utang pajak almarhum.  

Tetapi apabila pihak Balai Harta Peninggalan atau pihak yang mengurus harta peninggalan tersebut enggan melunasi pajak dari almarhum, maka petugas pajak dapat menerbitkan surat paksa, yaitu surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak. Surat paksa mempunyai kekuatan untuk melakukan eksekusi lapangan dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Secara teori, surat paksa diterbitkan setelah surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang diterbitkan oleh pejabat pajak. Pasal 8 ayat 1 UU KUP menerangkan tentang sebab-sebab penerbitan surat paksa yaitu penanggung pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya telah diterbitkan surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis, dan terhadap penanggung pajak telah dilaksanakan penagihan seketika, sekaligus, atau penanggung pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.
Surat paksa diberitahukan oleh jurusita pajak kepada salah satu ahli waris atau pelaksana wasiat atau yang mengurus harta peninggalannya apabila wajib pajak telah meninggal dunia dan masih meninggalkan harta warisan dan belum dibagi. Pelaksanaan Surat Paksa dapat dilanjutkan dengan penyitaan apabila telah lewat 2x24 jam setelah Surat Paksa diberitahukan. Penyitaan merupakan tindakan Jurusita Pajak untuk menguasai barang wajib pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundang-undangan. Dalam kasus wajib pajak meninggal, yang disita adalah warisannya yang mampu untuk memenuhi utang pajaknya.
Penyitaan tidak dapat dilaksanakan terhadap barang yang telah disita Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang. Terhadap barang yang telah disita tersebut, Jurusita Pajak menyampaikan Surat Paksa kepada Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang. Pengadilan Negeri dalam sidang berikutnya menetapkan barang tersebut sebagai jaminan pelunasan utang pajak. Sedangkan instansi lain yang berwenang, menentukan pembagian hasil penjualan barang tersebut berdasarkan ketentuan hak mendahului Negara untuk tagihan pajak, dan dapat dilakukan penyitaan dalam rangka pelaksanaan penagihan pajak terutang.
Selanjutnya dilakukan pelelangan kalau setelah penyitaan utang pajak masih tidak dibayar deposito berjangka, obligasi, saham, surat berharga, piutang, penyertaan modal, dan lain sebagainya. Barang yang dilelang di balai lelang dipakai untuk membayar utang pajak dan biaya penagihan. Untuk deposito berjangka, tangungan, langsung dipindahbukukan ke bank yang ditunjuk. Obligasi, saham, surat berharga di BEJ dijual di bursa efek atas permintaan pejabat atau segera dijual oleh pejabat. Untuk yang berbentuk piutang dibuat berita acara persetujuan tentang pengalihan hak menagih ke pejabat. Penyertaan modal pada perusahaan lain dibuat akte persetujuan pengalihan hak menjual ke pejabat.

Proses lelang dilaksanakan minimal 14 hari setelah pengumuman lelang di media massa dan pengumuman lelang minimal 14 hari setelah penyitaan. Jadi total ada 28 hari dari mulai penyitaan ke pelelangan. Pengumuman lelang di media massa minimal dilakukan 1 kali untuk barang begerak dan 2 kali untuk barang tidak bergerak. Untuk nilai barang 20 juta ke atas wajib dilakukan pengumuman ke media massa. Lelang dapat dilakukan tanpa wajib pajak. Kalau sebelum ketok palu pelelangan ada pelunasan hutang pajak, keputusan pengadilan, keputusan pengadilan pajak, atau barang yang dilelang musnah maka lelang gagal atau tidak jadi dilaksanakan.

Pemerintah Daerah memiliki hak mendahului atas barang wajib pajak pada pokok pajak, bunga, sanksi administrasi, denda dan biaya penagihan pajak yang mendahului biaya perkara, biaya penyelamatan barang baik disebabkan pelelangan / penghukuman pelelangan atau lain-lain sesuai gubernur. Tetapi hak mendahului dapat hilang jika sudah lewat 2 tahun dari terbit SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD (surat tagihan pajak daerah), surat keputusan pembetulan, surat keputusan keberatan dan putusan banding kecuali surat paksa diberitahu resmi atau ada penundaan pembayaran. Jadi ada dua tahun lebih untuk jangka penundaan bayar.




DAFTAR PUSTAKA
·         Undang-Undang No 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
·         Perpu No 2 Tahun 2007.
·         Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-161/PJ./2001.

Pajak Berganda Internasional


A.     Pengertian Pajak Berganda

Sehubungan dengan pengertian pajak berganda (double taxation), Knechtle dalam bukunya yang berjudul ”Basic Problems in Internasional Fiscal Law” (1979) memberikan pembahasan secara rinci. Knechtle membedakan pengertian pajak berganda, yaitu:

1.       Secara Luas, Pajak berganda adalah bentuk pembebanan pajak dan pungutan lainnya lebih dari satu kali, yang dapat berganda atau lebih atas suatu fakta fiskal.

2.       Secara Sempit, Pajak berganda dianggap terjadi pada semua kasus pemajakan beberapa kali terhadap suatu subjek dan/atau objek pajak dalam satu administrasi pajak yang sama, yang mengesampingkan pembebanan pajak oleh pemerintah daerah.

Selanjutnya, pajak berganda sesuai dengan yurisdiksi pemungut pajaknya, dapat dikelompokkan menjadi pajak berganda:
            1.   Internal (domestic)
            2.   Internasional

Dalam kedua kelompok tersebut terdapat pajak berganda vertikal, horizontal, dan diagonal (terutama dalam negara yang berbentuk federal).

Beberapa unsur Pajak Berganda Internasional (PBI)
                         
Apabila pemajakan berganda (multiple) dilakukan oleh beberapa adminitrasi pajak (berdasarkan yurisdiksi pemajakan domestik tiap Negara) maka terdapat pajak berganda Internasional (international double taxation). Secara teoritis dan normatif, istilah pajak berganda internasional meliputi beberapa unsur, antara lain:

1.   Pengenaan Pajak oleh beberapa otoritas pemajakan terhadap kriteria identitas.
2.   Identitas subjek pajak (Wajib Pajak yang sama)
3.   Identitas objek pajak (objek yang sama)
4.   Identitas masa pajak
5.   Identitas (atau kesamaan) pajak

Beberapa tipe Pajak Berganda Internasional ( PBI )
1.       Faktual dan potensial
2.       Yuridis dan ekonomis
3.       Langsung dan tidak langsung

Dampak dari Pajak Berganda Internasional ( PBI )

Secara ekonomis pajak merupakan pengorbanan sumber daya yang harus ditanggung oleh pengusaha (dan masyarakat). Pajak berganda sebagai akibat dari pemajakan oleh dua ketentuan pemajakan ( dari dua negara ) memberikan tambahan beban terhadap pengusaha. Sementara, perluasan usaha ke mancanegara sudah mengundang tambahan resiko dibanding dengan usaha dalam negeri, pemajakan ganda telah memperbesar resiko tersebut. Kalau tidak ada upaya untuk mencegah atau meringankan beban pajak tersebut, PBI dapat ikut memicu ekonomi global dengan biaya tinggi. Oleh karena itu, nampak sudah merupakan kebutuhan Internasional antarnegara untuk mengupayakan agar kebijkana perpajakannya bersifat netral untuk mengupayakan agar kebijakan perpajakannya bersifat netral terhadap kompetisi Internasional. Netralitas tersebut dicapai dengan penyediaan keringanan atau eliminasi terhadap PBI.

Beberapa bentuk pajak berganda internasional

1.       Pajak Penjualan
Walaupun hanya ditujukan terhadap peredaran dan konsumsi domestic, terdapat kemungkinan bahwa pajak penjualan ( peredaran dan pertambahan nilai ) dapat menimbulkan PBI. Hal itu dapat terjadi apabila dalam prinsip pemajakan Negara pengekspor menganut prinsip Negara asal (origin principle, pemajakan oleh Negara asal barang dan jasa ), sedangkan negara pengimpor menganut prinsip negara tujuan ( destination principle, pemajakan oleh negara tujuan sebagai pemanfaat barang dan jasa ). Namun, karena pemajakan atas transfer barang dan jasa, hampir semua Negara pemungut pajak penjualan menganut prinsip negara tujuan, maka tidak akan terjadi PBI dalam pajak tidak langsung.

2.       Pajak Penghasilan
Dalam pemajakan ini, kita mengenal dua pendekatan kewajiban pajak, antara lain :
a.       Kewajiban pajak tidak terbatas, merupakan resultat dari pemajakan berdasarkan pertalian subjektif yang dapat berupa nasionalitas atau tempat pendirian atau tempat kedudukan.
b.       Kewajiban pajak terbatas, merupakan resultat dari pemajakan berdasarkan pertalian objektif yang dapat berupa lokasi aktivitas ekonomi dan sumber penghasilan .

      Sehubungan dengan pajak penghasilan, PBI dapat terjadi karena benturan antarklaim, yaitu :
a.       Pemajakan tak terbatas
b.       Pemajakan tak dengan terbatas
c.       Pemajakan terbatas

Benturan antarklaim pemajakan tak terbatas dapat terjadi antarnegara penganut prinsip :
a.       Nasionalitas, pada umumnya terjadi terhadap orang pribadi yang berada di Negara penganut temapt kelahiran dengan orang tua dari Negara penganut keturunan.
b.       Nasionalitas dengan residensi, dapat terjadi baik pada wajib pajak orang pribadi maupun badan.
c.       Residensi, terjadi pda orang pribadi yang mempunyai tempat tinggal di Negara penganut pemajakan berdasarkan asas domisili namun ia berada dalam waktu yang relative substansial di Negara penganut prinsip kehadiran substansial ( lebih dari 183 hari ).

Benturan tersebut terjadi apabila subjek pajak yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di Negara penganut pemajakan global memperoleh penghasilan atau menjalankan aktivitas ekonomi juga memperoleh penghasilan dari Negara penganut klaim pemajakan terbatas, maka akan timbul Pajak Berganda Indonesia sebagai akibat benturan klaim pemajakan terbatas.



B. Terjadinya Pajak Berganda Internasional

Pajak berganda internasional umumnya terjadi karena pada dasarnya tidak ada hukum internasional yang mengatur hal tersebut sehingga terjadi bentrokan hukum antar dua negara atau lebih. Velkenbond memberikan pengertian bahwa pajak berganda internasional terjadi apabila pengenaan pajak dari dua negara atau lebih saling menindih sedemikian rupa, sehingga orang-orang yang dikenakan pajak di negara-negara yang lebih dari satu memikul beban pajak yang lebih besar daripada jika mereka dikenakan pajak di satu negara saja. Beban tambahan yang terjadi tidak semata-mata disebabkan karena perbedaan tarif dari negara-negara yang bersangkutan, melainkan karena dua negara atau lebih secara bersamaan memungut pajak atas objek dan subjek yang sama.

Dari pengertian di atas jelas bahwa pajak berganda internasional akan timbul karena atas suatu objek pajak dan subjek pajak yang sama dikenakan pajak lebih dari satu kali sehingga menimbulkan beban yang berat bagi subjek pajak yang dikenakan pajak tersebut. Selanjutnya Prof. Rochmat Soemitro menjelaskan bahwa ada beberapa sebab terjadinya pajak berganda internasional, yaitu:
  1. Subjek pajak yang sama dikenakan pajak yang sama di beberapa negera, yang dapat terjadi karena:
a.       Domisili rangkap
b.       Kewarganegaraan rangkap
c.       Bentrokan atas domisili dan asas kewarganegaraan.
  1. Objek pajak yang sama dikenakan pajak yang sama di beberapa negara.
  2. Subjek pajak yang sama dikenakan pajak di negara tempat tinggal berdasarkan atas wold wide income, sedangkan di negera domisili dikenakan pajak berdasarkan asas sumber.

C. Cara Penghindaran Pajak Berganda Internasional

Ada dua cara untuk menghindari pajak berganda internasional, yaitu dengan cara sebagai berikut:

  1. Cara Unilateral
Cara ini dilakukan dengan memasukkan ketentuan untuk menghindari pajak berganda dalam UU suatu negara dengan suatu prosedur yang jelas. Penggunaan cara ini merupakan wujud kedaulatan suatu negara untuk mengatur sendiri masalah pemungutan pajak dalam suatu UU.

Menghilangkan pajak berganda

Secara unilateral melalui UU pajak dan aturan pelaksanaannya caranya :
-        Mengecualikan seseorang/badan sebagai subjek pajak
-        Mengecualikan suatu penghasilan sbg objek pajak
-        Menerapkan metode penhilangan pajak berganda (deduksi, pembebasan, kredit)
-        Membetulkan ketetapan pajak yang menimbulkan pajak berganda
-        Mengembalikan pajak yang seharusnya tidak terutang
Kelemahan
-        Hanya melindungi SPDN, apabila terjadi dual residence ketentuan domestiklah yang menimbulkan DT
  1. Cara Bilateral atau Multilateral
Cara Bilateral atau Multilateral dilakukan melalui suatu perundingan antar negara yang berkepentingan untuk menghindarkan terjadinya pajak berganda. Perjanjian yang dilakukan secara bilateral oleh dua negara, sedangkan multelateral dilakukan oleh lebih dari dua negara, yang lebih dikenal dengan sebutan traktat atau tax treaty. Proses terjadinya perjanjian secara bilateral maupun multilateral tentu akan membutuhkan waktu yang cukup lama karena masing-masing negara mempunyai prinsip pemajakannya masing-masing sesuai dengan kedaulatan negaranya sendiri.

Secara bilateral/multilateral melalui Tax Treaty caranya :

-        Menyelesaikan dual residence dengan menyediakan Tie Break Rule
-        Membagi hak pemajakan atas penghasilan
-        Koresponding adjustment dalam kasus transfer pricing

Menentukan metode penghilangan pajak berganda(deduksi atau kredit)

-        WP dapat melakukan MAP
-        Prosedur persetujuan bersama/MAP
-        Apabila WP dikenakan pajak tidak sesuai P3B dapat meminta Kantor Pajaknya untuk melakukan MAP dengan kantor pajak mitra P3B
Arbitrase Internasional

Apabila WP tidak puas dengan keputusan MAP dapat membawa masalahnya ke Arbitrase Internasional


Perjanjian Dalam Pajak Berganda Internasional

Perjanjian seperti ini kebanyakan masih berusia muda, dahulu hanya dikenakan persetujuan persahabatan, persetujuan untuk menetap, persetujuan dagangan dan peretujuan pelayanan yang kadang-kadang mencakup satu ketentuan yang ada hubungannya dengan beberapa macam pajak yang kebanyakan mencantumkan klausul tentang keharusan adanya perlakuan yang sama terhadap penduduk atau penguasa dari negara-negara yang mengadakan persetujuan.

Prosedur dari perjanjian kolektif ternyata sukar untuk dilaksanakan karena bermacam-macam ragam, sistem dan asas perpajakan di berbagai negara, dan karena lambannya prosedur perundingan untuk tidak berbicara tentang lambannya atau resikonya pengukuhan oleh kepala negara-negara peserta perjanjian.

Ketentuan-ketentuan penting yang tercantum dalam perjanjian-perjanjian pajak berganda secara singkat adalah sebagai berikut :
  1. Orang-orang yang dapat menikmati keuntungan dari perjanjian-perjanjian.
  2. Pajak-pajak yang diatur dalam perjanjian.
  3. Sengketa internasional.
  4. Arti tempat kediaman fiskal.

Tax Treaty

Tax Treaty adalah perjanjian perpajakan anatar dua Negara atau lebih yang dibuat dalam rangka meminimalisir perpajakan berganda dan berbagai usaha penghindaran pajak (penggelapan pajak).Perjanjian ini digunakan oleh dua Negara untuk menentukan aspek perpajakan yang timbul dari suatu transaksi diantara mereka.

Apakah perlu Tax Treaty bagi Negara?

Ya jelas sangat perlu karena kita tahu sebagian besar Negara sumber keuangannya mengandalkan dari pajak.Baik itu Negara besar maupun Negara kecil, Negara yg kaya atau miskin.Tiap Negara sudah pasti menggunakan pajak dan tax treaty dilakukan sesuai dengan aturan masing-masing Negara.

Yang menjadi tujuan dari Tax Treaty adalah :

1. Menghindari Pajak Berganda (Double Taxation)

Dalam menerapkan ketentuan perpajakan,Yusrisdiksi perpajakan suatu negara akan berinteraksi dengan yusrisdiksi perpajakan Negara lainnya. Interaksi dua yurisdiksi perpajakan dua Negara ini biasanya akan menimbulkan pajak berganda.Yang membuat timbulnya pajak berganda ini karena dua Yurisdiksi perpajakan mengenakan pajak kepada penghasilan yang sama yang dimiliki oleh subjek pajak yang sama.


2. Mencegah Pengelakan pajak

Ada 2 hal yg bisa dilakukan dalam menghindari pajak yaitu : Tax Avoidance cara ini masih dalam tahap ketentuan perpajakan artinya masih dalam tahap yg wajar dan tidak menjadi masalah. Contohnya membuat modal sebagai pinjaman sehingga dividen bisa disebut bunga sehingga bisa dibiayakan. Sedangkan Tax Evasion adalah cara menghindar pajak dengan melakukan pelanggaran ketentuan pajak. Contohnya tidak melaporkan penghasilan atau membebankan biaya fiktif, dan cara ini illegal dan termasuk kriminal.

3. Penukaran Informasi

Untuk mencegah terjadinya penghindaran dan pengelakan pajak dalam suatu transaksi internasional, dapat dilakukan juga dengan pertukaran informasi. Informasi dari negara lain dapat digunakan untuk menyelesaikan kasus-kasus  penghindaran atau pengelakan   pajak seperti kasus treaty shopping (memanfaatkan ketentuan tax treaty yang  tidak semestinya), kasus transfer pricing ataupun kasus tinda pidana perpajakan.